Jumat, 23 Juli 2010

Jangan Menyerah Saudariku!


Pusing! itulah yang ada di kepala Ida (bukan nama sebenarnya). Sepertinya ‘tuntutan hidup’ mengharuskan dia bekerja, yang itu berarti dia harus bercampur baur dengan para pria. Ya Allah, kuatkanlah imannya dan berikan sifat istiqomah dalam menjalankan ketaatan kepada-Mu. Aamiin.

Sebuah tuntutan dari orang yang telah membiayai pendidikan (kuliah), baik itu orang tua, kakak, paman, bibi, atau yang lainnya adalah sebuah kewajaran ketika mereka merasa bahwa ‘tugas’ mereka menyekolahkan seorang anak telah selesai. Lalu, apakah setiap tuntutan itu harus dipenuhi? Lalu kemudian teringat sebuah hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang maknanya adalah sebuah kebaikan dibalas dengan kebaikan yang serupa, dan bila tidak mampu maka dengan mendoakannya (HR. Baihaqi). Berbagai pikiran mungkin berkecamuk di benak, “Entah telah berapa puluh juta yang mereka telah keluarkan untuk membiayai kuliahku, tapi entah berapa yang bisa kubalas, atau entah apakah sebanding yang kudapat sekarang dengan yang mereka korbankan.” Di samping tuntutan dari orang-orang di belakang layar selama proses menempuh perkuliahan, masih pula dikejar-kejar oleh kebutuhan hidup yang perlu dipenuhi. Dan biaya-biaya tak terduga yang pada intinya akan mengurangi ‘bekal’ yang masih tersisa. Seakan-akan semua keadaan itu berteriak bersama-sama, “Kerja! kerja! kerja!”, “Cari yang bergaji wah!”, “Pendekkan saja jilbabmu, tidak apa-apa, biar cepat mendapatkan kerja!”, “Lepas cadarmu, tidak ada yang mau menerima wanita seperti dirimu”, “Jangan cuma kerja yang begitu!” Dan bisikan-bisikan hawa nafsu yang setiap orang pasti memilikinya, dan tidaklah hawa nafsu itu melainkan mengajak pada keburukan.

Saudariku, kuatkan imanmu!

Dimana pelajaran tauhid yang selama ini telah engkau pelajari? Dan kemanakah perginya konsekuensi dari pengenalan nama dan sifat Allah Ta’ala yang telah engkau ketahui? Engkau mengetahui bahwa Allah Maha Kuasa dan Maha Kaya. Engkau telah mengetahui bahwa Allah Ta’ala telah mengatur seluruhnya dan tertulis dalam kitab Lauh Mahfuz. Jauh, jauh sebelum engkau diciptakan. Segala ketentuannya tak dapat dirubah. Namun, engkau adalah manusia yang menjalankan dengan berbagai pilihan. Dan engkau akan dimudahkan pada setiap takdir yang telah ditentukan. Dari pengenalanmu tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala, engkau mengetahui, bahwa rezeki, kehidupan yang baik dan buruk, seluruhnya telah ditentukan. Maka, berdoalah! Dan bersabarlah! Serta bersyukurlah dengan keadaanmu sekarang.

…Barangsiapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan kepadanya pahala akhirat itu. Dan kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. (Al Imraan [3]: 145)

Engkau tidak dapat mengejar tujuan hidup berupa kekayaan. Dan engkau -seharusnya- tidak menanggalkan pakaian ketakwaan. Kekayaan telah ditentukan. Nikmat Islam telah diberikan. Keadaan yang diberikan kepadamu sekarang, insya Allah adalah lebih baik dari yang lain atau yang sebelumnya. Jika engkau masih memikirkan, antara keinginan yang kuat untuk tetap bertahan dalam ketaatan menjalankan syari’at, maka bersyukurlah! Karena itu adalah keadaan yang lebih baik untuk dirimu. Bandingkanlah dengan keadaan mereka yang tidak perlu bersusah payah mempertimbangkan itu semua. Dan dengan mudahnya mereka jatuh dalam gelimang dosa. Dan salah satu cara untuk mewujudkan rasa syukurmu adalah dengan lebih menjalankan ketaatan kepada-Nya. Perhatikanlah firman Allah ta’ala kepada orang-orang yang telah diberikan nikmat.

…Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. (Al A’raaf [7]: 69)

Nikmat yang engkau rasakan dalam menjalankan ketaatan dalam agama Islam adalah jauh lebih baik dari dunia dan segala isinya. Tidak semua orang Islam dapat merasakan ini. Karena terdapat dua nikmat dalam Islam. Nikmat karena telah beragama Islam (ni’mat lil islam) dan nikmat dalam Islam itu sendiri (ni’mat fil islam). Tidak semua orang Islam mendapatkan nikmat untuk menjalankan ketundukan pada syari’at yang telah ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan telah dijelaskan oleh Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ya! Baiklah! Masih berkutat di pikiranmu. Bagaimana dengan kebutuhan hidupku?! Bagaimana dengan balas jasaku? Allahumma… semoga Allah memudahkan jalanmu saudariku. Tidakkah engkau ingat bahwa masing-masing telah ditentukan rezekinya. Bahkan sampai binatang yang cacat sekalipun, yang ia tidak dapat mencari makanan sendiri atau mangsa sendiri. Allah Subhanahu wa Ta’ala berjanji pada hamba-hamba-Nya lewat firman-Nya (dan sungguh janji Allah Ta’ala adalah benar adanya)

…Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. (QS. At Thalaq [65]: 2)

Dan ayat ini sejalan dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika memberikan jalan bagi seorang muslim dalam menghadapi kehidupan di dunia dimana seorang makhluk memiliki berbagai kebutuhan,

Sekiranya kalian bertawwakal kepada Allah secara benar maka Dia akan memberi rezeki kepada kalian sebagaimana Allah memberi rezeki pada burung. Mereka berangkat pada waktu pagi dalam keadaan sangat lapar dan pulang dalam keadaan sangat kenyang. (Hadits riwayat Ahmad, Tirmidzi, Nasai, Ibn Majah, Ibn Hibban, dan Hakim. Tirmidzi berkata, hadist ini hasan shohih)

Saudariku… burung tersebut tentu tidak memastikan bahwa setiap bulannya harus mendapatkan makanan sekian dan sekian. Namun ia berusaha untuk mendapatkan apa yang dia butuhkan dan mendapatkan rezeki dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka bersyukur adalah yang lebih layak engkau lakukan dan dengan demikian maka akan terwujud sikap qona’ah dalam hatimu.

Syaitan menjanjikan kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan, sedang Allah menjadikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas lagi Maha Mengatahui. (Al-Baqoroh [2]: 268)

Lalu, bagaimana dengan balas jasaku? Maka dengan menjalankan keta’atan kepada Allah, engkau memberikan balasan yang insya Allah jauh lebih besar manfaatnya untuk mereka di akherat nanti. Mengapa? Perhatikan hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini (yang secara makna artinya) “Tidak ada ketaatan pada makhluk dalam hal kemaksiatan pada Allah.”

Dan dari Abu Hurairah rodhiallahu’anhu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Barangsiapa yang mengajak kepada kesesatan maka dia menanggung dosanya dan juga menanggung dosa orang-orang yang mengikutinya, hal itu tidak mengurangi sedikitpun dari dosa-dosa mereka. (HR. Muslim)

Maka jika engkau mengikuti mereka dalam sebuah hal yang dapat menjerumuskanmu dalam kemaksiatan, maka ketahuilah saudariku, engkau juga telah memberikan dosa-dosa yang semisal kepada mereka. Wal’iyyadzubillah. Dan berpuluh-puluh juta yang telah mereka korbankan untukmu agar engkau pada akhirnya menjalankan sebuah kemaksiatan tidak akan memberi manfaat sedikitpun di akherat nanti dan justru yang terjadi adalah sebaliknya, mereka akan dimintai pertanggungjawaban atas segala amal perbuatannya. Maka, janganlah ukur segala sesuatu dengan materi keduniaan. Karena ada kehidupan yang jauh lebih patut untuk dipikirkan dan dipersiapkan.

Pesan terakhir yang paling baik adalah kalimat dari manusia terbaik yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari Abu Sa’id Al-Khudry rodhiallahu’anhu, dia berkata. ‘Aku memasuki tempat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau sedang demam. Lalu kuletakkan tanganku di badan beliau. Maka aku merasakan panas di tanganku di atas selimut. Lalu aku berkata. ‘Wahai Rasulullah, alangkah kerasnya sakit ini pada dirimu’. Beliau berkata: ‘Begitulah kami (para nabi). Cobaan dilipatkan kepada kami dan pahala juga ditingkatkan bagi kami’. Aku bertanya. ‘Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berat cobaannya ? Beliau menjawab: ‘Para nabi. Aku bertanya. ‘Wahai Rasulullah, kemudian siapa lagi? Beliau menjawab: ‘Kemudian orang-orang shalih. Sungguh salah seorang di antara mereka diuji dengan kemiskinan, sampai-sampai salah seorang diantara mereka tidak mendapatkan kecuali (tambalan) mantel yang dia himpun. Dan, sungguh salah seorang diantara mereka merasa senang karena cobaan, sebagaimana salah seorang diantara kamu yang senang karena kemewahan.’ (HR. Ibnu Majah, Al-Hakim, di shahihkan Adz-Dzahaby)

Jangan menyerah saudariku!
Rezeki yang kau butuhkan,
tidak hanya bertumpuk pada hiruk pikuk perkantoran.

Tidak hanya terkumpul pada tempat yang memudahkanmu menjalankan kemaksiatan.

Balas jasamu tidak sekedar materi keduniaan.
Sebuah do’a dan amal sholeh lebih dapat menghindarkan mereka dari kehinaan.

Insya Allah.
Semoga Allah memudahkanmu dalam ketaatan.
Dan memberikan yang lebih baik, yaitu manisnya iman.

Sebuah nasihat bagi diriku dan ukhtifillah…

Wahai Anakku, Beginilah Cara Minum Rasulullah


Salah satu bentuk pengajaran kepada si kecil adalah mengajarinya tentang adab dan akhlak mulia dalam Islam. Karena bagaimanapun, seorang ibu memiliki peran yang sangat besar dalam pembentukan pribadi anak. Jika sang ibu berakhlak baik maka si kecil pun akan meniru ibunya karena biasanya waktu anak lebih banyak bersama ibunya. Diantara adab yang semestinya kita ajarkan kepada si kecil adalah adab ketika minum.


Inilah Adab Minum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Aktivitas minum merupakan aktivitas yang lekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Sehingga hal ini merupakan kesempatan yang baik untuk memberikan pengajaran bagi anak-anak kita dan melatihnya agar terbiasa minum sesuai dengan tauladan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beberapa adab minum yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam antara lain:

Meniatkan minum untuk dapat beribadah kepada Allah agar bernilai pahala.Segala perkara yang mubah dapat bernilai pahala jika disertai dengan niat untuk beribadah. Wahai ibu, maka niatkanlah aktivitas minum kita dengan niat agar dapat beribadah kepada Allah. Dan janganlah lupa memberitahukan anak tentang hal ini.
Memulai minum dengan membaca basmallah.Diantara sunnah Nabi adalah mengucapkan basmallah sebelum minum. Hal ini berdasarkan hadits yang memerintahkan membaca ‘bismillah’ sebelum makan. Bacaan bismillah yang sesuai dengan sunnah adalah cukup dengan bismillah tanpa tambahan ar-Rahman dan ar-Rahim.
Dari Amr bin Abi Salamah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai anakku, jika engkau hendak makan ucapkanlah bismillah, makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah makanan yang berada di dekatmu.” (HR Thabrani dalam Mu’jam Kabir)

Dalam silsilah hadits shahihah, 1/611 Syaikh al-Albani mengatakan, “Sanad hadits ini shahih menurut persyaratan Imam Bukhari dan Imam Muslim)Wahai ibu, jangan lupa untuk mengingatkan anak-anak kita untuk membaca ‘bismillah’ ketika hendak minum, agar setan tidak ikut serta menikmati makanan dan minuman yang sedang kita konsumsi.

Minum dengan tangan kanan.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Jika salah seorang dari kalian hendak makan, hendaklah makan dengan tangan kanan. Dan apabila ingin minum, hendaklah minum dengan tangan kanan. Sesungguhnya setan makan dengan tangan kirinya dan minum dengan tangan kirinya.” (HR. Muslim)Ajarkanlah pada si kecil untuk selalu menggunakan tangan kanan ketika makan dan minum. Seringkali si kecil lupa meskipun telah kita ajari, apalagi ketika menyantap makanan ringan (snack) bersama teman mainnya. Nah, saat kita melihatnya, ingatkanlah ia. Janganlah bosan dan merasa jemu untuk mengingatkan anak kita. Insyaa Allah jika kita melakukannya dengan ikhlas mengharap ridha Allah, Allah akan mengganti usaha kita tersebut dengan pahala.
Tidak bernafas dan meniup air minum.Termasuk adab ketika minum adalah tidak bernafas dan meniup air minum. Ada beberapa hadits mengenai hal ini:Dari Abu Qatadah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian minum maka janganlah bernafas dalam wadah air minumnya.” (HR. Bukhari no. 5630 dan Muslim no. 263)
Dari Ibnu Abbas, “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk bernafas atau meniup wadah air minum.” (HR. Turmudzi no. 1888 dan Abu Dawud no. 3728, hadits ini dishahihkan oleh Al-Albani).Dalam Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawi mengatakan, “Larangan bernafas dalam wadah air minum adalah termasuk etika karena dikhawatirkan hal tersebut mengotori air minum atau menimbulkan bau yang tidak enak atau dikhawatirkan ada sesuatu dari mulut dan hidung yang jatuh ke dalamnya dan hal-hal semacam itu.

Dalam Zaadul Maad IV/325 Imam Ibnul Qayyim mengatakan, “Terdapat larangan meniup minuman karena hal itu menimbulkan bau yang tidak enak yang berasal dari mulut. Bau tidak enak ini bisa menyebabkan orang tidak mau meminumnya lebih-lebih jika orang yang meniup tadi bau mulutnya sedang berubah. Ringkasnya hal ini disebabkan nafas orang yang meniup itu akan bercampur dengan minuman. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dua hal sekaligus yaitu mengambil nafas dalam wadah air minum dan meniupinya.

Bernafas tiga kali ketika minum.Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu beliau mengatakan, “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam minum beliau mengambil nafas di luar wadah air minum sebanyak tiga kali.” Dan beliau bersabda, “Hal itu lebih segar, lebih enak dan lebih nikmat.”
Anas mengatakan, “Oleh karena itu ketika aku minum, aku bernafas tiga kali.” (HR. Bukhari no. 45631 dan Muslim no. 2028). Yang dimaksud bernafas tiga kali dalam hadits di atas adalah bernafas di luar wadah air minum dengan menjauhkan wadah tersebut dari mulut terlebih dahulu, karena bernafas dalam wadah air minum adalah satu hal yang terlarang sebagaimana penjelasan di atas.

Larangan minum langsung dari mulut teko/ceret.Dari Abu Hurairah, beliau berkata, “Rasulullah melarang minum langsung dari mulut qirbah (wadah air yang terbuat dari kulit) atau wadah air minum yang lainnya.” (HR Bukhari no. 5627).
Menurut sebagian ulama minum langsung dari mulut teko hukumnya adalah haram, namun mayoritas ulama mengatakan hukumnya makruh. Ketahuilah wahai para ibu muslimah, yang sesuai dengan adab islami adalah menuangkan air tersebut ke dalam gelas kemudian baru meminumnya.Dari Kabsyah al-Anshariyyah, beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke dalam rumahku lalu beliau minum dari mulut qirbah yang digantungkan sambil berdiri. Aku lantas menuju qirbah tersebut dan memutus mulut qirbah itu.” (HR. Turmudzi no. 1892, Ibnu Majah no. 3423 dan dishahihkan oleh Al-Albani)

Hadits ini menunjukkan bolehnya minum dari mulut wadah air. Untuk mengkompromikan dengan hadits-hadits yang melarang, al-Hafidz Ibnu Hajar al-Atsqalani mengatakan, “Hadits yang menunjukkan bolehnya minum dari mulut wadah air itu berlaku dalam kondisi terpaksa.” Mengompromikan dua jenis hadits yang nampak bertentangan itu lebih baik daripada menyatakan bahwa salah satunya itu mansukh (tidak berlaku).”(Fathul Baari, X/94)

Minum dengan posisi duduk.Terdapat hadits yang melarang minum sambil berdiri. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian minum sambil berdiri. Barang siapa lupa sehingga minum sambil berdiri, maka hendaklah ia berusaha untuk memuntahkannya.” (HR. Ahmad no 8135)

Namun disamping itu, terdapat pula hadits yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam minum sambil berdiri. Dari Ibnu Abbas beliau mengatakan, “Aku memberikan air zam-zam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau lantas minum dalam keadaan berdiri.” (HR. Bukhari no. 1637, dan Muslim no. 2027)Dalam hadits yang pertama Rasulullah melarang minum sambil berdiri sedangkan hadits kedua adalah dalil bolehnya minum sambil berdiri. Kedua hadits tersebut adalah shahih. Lalu bagaimana mengkompromikannya?

Mengenai hadits di atas, ada ulama yang berkesimpulan minum sambil berdiri diperbolehkan, meski yang lebih utama adalah minum sambil duduk. Diantara ulama tersebut adalah Imam Nawawi dan Syaikh Utsaimin. Meskipun minum sambil berdiri diperbolehkan, namun yang lebih utama adalah sambil duduk karena makan dan minum sambil duduk adalah kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Minum sambil berdiri tidaklah haram akan tetapi melakukan hal yang kurang utama.

Menutup bejana air pada malam hari.Biasakan diri kita untuk menutup bejana air pada malam hari dan jangan lupa mengajarkan anak kita tentang hal ini. Sebagaimana hadits dari Jabir bin Abdillah, ia berkata, aku mendengar Rasulullah bersabda,
“Tutuplah bejana-bejana dan wadah air. Karena dalam satu tahun ada satu malam, ketika ituturun wabah, tidaklah ia melewati bejana-bejana yang tidak tertutup, ataupun wadah air yang tidak diikat melainkan akan turun padanya bibit penyakit.” (HR. Muslim)

Puas dengan minuman yang ada dan tidak mencelanya.
Ajarkan pula kepada anak, bahwa kita tidak boleh mencela makanan walaupun kita tidak menyukainya.
Para ibu muslimah, itulah beberapa adab ketika minum sesuai kebiasaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Alangkah senangnya hati ini ketika kita melihat anak-anak kita meniru kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan membiasakan adab islami kepada anak semenjak kecil, Insya Allah saat dewasa kelak anak-anak akan lebih mudah untuk melaksanakan adab-adab dalam islam dalam kesehariannya, karena ia sudah terbiasa. Maka janganlah bosan untuk mengingatkan si kecil. Semoga Allah membalas usaha kita dengan pahala yang berlipat ganda. Amiin.

Kamis, 22 Juli 2010

Berlindungnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dari Lima Perkara

Sesungguhnya Rasul kita yang mulia Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam adalah merupakan uswah, teladan kita dalam kehidupan kita.

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِير

“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suatu tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharapkan rahmat Allah dan keselamatan dihari kiamat dan banyak mengingat Allah.” (Qs. Al-Ahzab : 21)

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kepada umatnya perkara-perkara yang diperintahkan oleh Allah dan mempraktekkannya agar umatnya dapat mengamalkannya. Diantaranya adalah do’a setelah tasyahud akhir sebelum salam. Do’a itu senantiasa Rasulullah ajarkan kepada umatnya agar senantiasa dibaca setiap sebelum salam. Begitu pentingnya hal ini sehingga disunnahkan setiap kali shalat untuk berdo’a memohon perlindungan kepada Allah dari empat perkara, yaitu :

اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ ، وَمِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ ، وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ، وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ

“Ya Allah, Sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari siksaan kubur, siksa neraka Jahanam, fitnah kehidupan dan setelah mati, serta dari kejahatan fitnah Almasih Dajjal.” (HR. Bukhari-Muslim)

Dalam riwayat yang lain,

اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ . اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ الْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَمِ

“Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari siksa kubur. Aku berlindung kepadaMu dari fitnah Almasih Dajjal. Aku berlindung kepadaMu dari fitnah kehidupan dan sesudah mati. Ya Allah, Sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari perbuatan dosa dan hutang.” (HR. Bukhari-Muslim)

Saudariku muslimah ..
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan kepada umat beliau untuk memohon perlindung dari empat perkara ini disetiap kali kita sholat dan diulang-ulang setiap harinya. Hal ini menunjukkan betapa penting dan agungnya do’a ini.

Yang pertama, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berlindung dari azab Jahannam.

اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ

Jahannam, ia adalah merupakan tempat kembali seburuk-buruknya tempat kembali. Neraka Jahannam yang disebutkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam memiliki panas 70 kali lipat dari api dunia. Hal itu telah digambarkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, “(Panasnya) api yang kalian (Bani Adam) nyalakan di dunia ini merupakan sebagian dari tujuh puluh bagian panasnya api neraka Jahannam.” Para sahabat bertanya, “Demi Allah, api dunia itu sudah cukup wahai Rasulullah!” Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “sesungguhnya panasnya api neraka melebihi panas api dunia sebanyak enam puluh kali lipat.” (HR. Muslim no. 2843)

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam kemudian menyebutkan betapa seramnya azab neraka. Penduduknya dijadikan berbadan sebesar-besarnya sampai-sampai Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan bahwasanya gigi penduduk neraka sebesar Gunung Uhud. Yang demikian itu agar penduduk neraka lebih merasakan azab.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Jarak antara kedua pundak orang kafir (di neraka) seperti jarak orang yang menaiki kendaraan dengan cepat selama tiga hari.‘ (HR. Bukhori : 5661, Muslim : 2582).

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, “(Besar) gigi geraham orang kafir atau gigi taringnya (di neraka) seperti gunung uhud, dan tebal kulitnya sejarak perjalanan tiga hari.” (HR. Muslim : 2851).

Kulit mereka yang begitu tebal dibakar dengan api yang menyala-nyala hingga kulit itupun hangus. Dan apabila kulit itu hangus lalu Allah akan menggantinya dengan kulit yang lain.

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُواْ بِآيَاتِنَا سَوْفَ نُصْلِيهِمْ نَاراً كُلَّمَا نَضِجَتْ جُلُودُهُمْ بَدَّلْنَاهُمْ جُلُوداً غَيْرَهَا لِيَذُوقُواْ الْعَذَابَ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَزِيزاً حَكِيماً

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, kelak akan Kami masukkan kedalam neraka. Setiap kulit tubuh mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, agar mereka merasakan adzab. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Qs. An-Nisa : 56)

Saudariku Muslimah.. Maka dari itu, sudah selayaknya kita berlindung kepada Allah dari keburukan azab neraka jahanam.

Yang kedua, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berlindung dari azab kubur.

وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ

Azab kubur merupakan kehidupan akhirat yang pertama kali. Azab kubur adalah penentuan bagi seorang hamba. Jika ia selamat di dalam kuburnya, maka ia akan lebih selamat lagi di hari akhirat kelak. Dan sebaliknya, apabila ia tidak selamat didalam kuburnya, lebih-lebih dia tidak akan selamat di dalam kehidupan akhirat kelak.

Pada saat Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu melihat kuburan ketika berziarah, beliaupun menangis. Lalu ditanya oleh sahabatnya,”Wahai Utsman, dituturkan surga neraka engkau tidak menangis, sekarang melihat kuburan engkau menangis!” Utsman menjawab, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam pernah berkata,
“Kuburan adalah rintangan pertama kali akhirat, siapa yang sekarang berhasil di situ setelahnya lebih mudah, siapa yang celaka di situ, maka setelahnya akan lebih susah. Tidaklah aku melihat suatu pandangan yang lebih mengerikan dibandingkan kuburan” (HR. Ahmad-Tirmidzi)

Maka sudah sepatutnya kita berlindung dari adzab kubur. Dan sudah sepatutnya pula kita berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sambil kita menjauhi perkara-perkara yang dapat menyebabkan kita diazab didalam kubur. Tahukah engkau wahai saudariku, apa yang meyebabkan seorang hamba diazab didalam kuburnya? Ada dua sebab, sebab yang umum dan sebab yang khusus. Diantara sebab yang umum wahai saudariku, adalah setiap kemaksiatan kepada Allah. Itulah penyebab seorang hamba di azab di dalam kubur. Adapun sebab yang khusus wahai saudariku, maka yang ditunjukkan oleh dalil-dalil syariat. Disebutkan didalam hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Jibril dan Mikail ‘alaihissalam sebagaimana disebutkan dalam hadits yang panjang,

فَأَخْبِرَانِي عَمَّا رَأَيْتُ. قَالَا: نَعَمْ، أَمَّا الَّذِي رَأَيْتَهُ يُشَقُّ شِدْقُهُ فَكَذَّابٌ يُحَدِّثُ بِالْكَذْبَةِ فَتُحْمَلُ عَنْهُ حَتَّى تَبْلُغَ الْآفَاقَ فَيُصْنَعُ بِهِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَالَّذِي رَأَيْتَهُ يُشْدَخُ رَأْسُهُ فَرَجُلٌ عَلَّمَهُ اللهُ الْقُرْآنَ فَنَامَ عَنْهُ بِاللَّيْلِ وَلَمْ يَعْمَلْ فِيهِ بِالنَّهَارِ يُفْعَلُ بِهِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَالَّذِي رَأَيْتَهُ فِي الثَّقْبِ فَهُمُ الزُّنَاةُ، وَالَّذِي رَأَيْتَهُ فِي النَّهْرِ آكِلُوا الرِّبَا

“Beritahukanlah kepadaku tentang apa yang aku lihat.” Keduanya menjawab,”Ya. Adapun orang yang engkau lihat dirobek mulutnya, dia adalah pendusta. Dia berbicara dengan kedustaan lalu kedustaan itu dinukil darinya sampai tersebar luas. Maka dia disiksa dengan siksaan tersebut hingga hari kiamat. Adapun orang yang engkau lihat dipecah kepalanya, dia adalah orang yang telah Allah ajari Al-Qur’an, namun dia tidur malam (dan tidak bangun untuk shalat malam). Pada siang hari pun dia tidak mengamalkannya. Maka dia disiksa dengan siksaan itu hingga hari kiamat. Adapun yang engkau lihat orang yang disiksa dalam tungku, mereka adalah pezina. Adapun orang yang engkau lihat di sungai darah, dia adalah orang yang makan harta dari hasil riba.” (HR. Al-Bukhari no. 1386 dari Jundub bin Samurah radhiyallahu ‘anhu)

Itulah sebagian adzab kubur yang diperlihatkan kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Maka dari itu wahai saudariku, mohonlah perlindungan kepada Allah dari siksa kubur, karena ia merupakan siksa pedih sebelum kita melanjutkan perjalanan menuju akhirat.

Yang ketiga, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam berlindung dari fitnah kehidupan dan sesudah kematian.

وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ

“Aku berlindung kepadaMu dari fitnah kehidupan dan sesudah mati”

Fitnah hidup berupa syubhat dan syahwat. Seorang hamba diuji oleh Allah dengan syubhat(kesesatan pemahaman) dan syahwatnya. Ujian berupa fitnah syubhat merupakan seberat beratnya ujian bagi seorang hamba karena hal itu bisa merusak agamanya. Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wasallam saja berlindung dari fitnah-fitnah tersebut duhai saudariku. Beliau berlindung kepada Allah agar tidak dijadikan musibah dalam agamanya. Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam pun berdo’a,

وَلاَ تَجْعَلْ مُصِيْبَتَنَا فِى دِيْنِنَا

“(Wahai Allah) ,dan janganlah engkau jadikan musibah menimpa agama kami.” (HR. at-Tirmidzi)

Karena sessungguhnya ini adalah seburuk-buruk musibah. Seorang hamba yang berbuat maksiat, merupakan musibah dalam agamanya. Seorang hamba yang berbuat bid’ah, merupakan musibah dalam agamanya. Seorang hamba yang melanggar larangan-larangan Allah, ia pun merupakan musibah di dalam agamanya. Musibah yang menimpa seorang hamba dalam perkara dunia itu lebih ringan wahai saudariku. Seseorang diberi kefakiran, seseorang diberikan penyakit, seseorang diberikan kelaparan, barangkali itu tidak merubah agamanya. Akan tetapi, ketika seseorang diberi ujian syubhat dan syahwat lalu ia ikuti hal tersebut, ketahuilah hal ini bisa menghancurkan agamanya. Itulah musibah yang paling besar. Wal iyyadzubillah.

Rabu, 21 Juli 2010

Kata pengantar untuk sebuah terjemahan dalam bahasa Arab atas skripsi Marie-Paule Mémy dan dari saya sendiri skripsi pembelaan

oleh Robert Faurisson
Perang dunia kedua telah menimbulkan berbagai macam ketakutan, penderitaan, dan keingintahuan-keingintahuan yang sampai dengan hari ini masih sulit untuk mencernanya dengan penuh kedamaian hati.

Tetapi paling tidak kita harus menerapkan metoda-metoda rutin kritik sejarah pada semua aspek-aspek dari perang tersebut, bahkan terutama pada pengujian masalah-masalah yang paling kontroversial;

Masalah kesejarahwan yang khususnya dipelajari oleh para kaum revisionis (kaum pembaharuan) baik di Prancis dengan Paul Rassinier, di Amerika Serikat dengan Arthur Robert Butz, di Jerman dengan Wilhelm Staeglich, di Itali dengan Carlo Mattogno dsb adalah sebagai berikut:

-- jelas sekali bahwa Hitler telah memperlakukan kaum Yahudi sebagai musuh yang resmi;

-- jelas sekali bahwa beliau menempatkan beberapa diantara mereka ke dalam kamp-kamp konsentrasi;

-- tetapi benarkah Hitler bermaksud sungguh-sungguh menghapus kaum Yahudi yang lahir di Eropa?

Jawaban saya mengenai pertanyaan ini sama dengan para penulis revisionis yang diantara sekian banyak di seluruh dunia tetap teguh walaupun adanya politik diam atau represi yang ada terhadap mereka selama bertahun-tahun. Jawaban kita adalah sebagai berikut:

politik eksterminasi untuk Yahudi dan penggunaan terhadap efek ruangan bergaz bunuhdiri di Auschwitz atau tempat lainnya adalah kesalahan hukuman-kesalahan hukuman yang diterapkan pada semua jenis perang dan yang ditimbulkan hanya untuk propaganda perang.

Menurut pendapat kita propaganda tersebut bersifat merusak. Di Auschwitz hanya ada kutu yang diberantas dengan gaz.

Memang selama kita percaya pada kesalahan hukuman (yang berdasarkan selera semata-mata) tersebut kita tidak akan pernah dapat tahu kejahatan yang sebenarnya, hanya perang itu sendiri dengan semua serentan kekerasan-kekerasanya : kekekerasan yang sengaja seperti terorisme dengan semua bentuknya atau ketakutan yang sengaja seperti epidemi tipes atau sakit panas tipes menyerang kamp konsentrasi.

Banyak orang yang percaya dengan sungguh-sungguh pada kerasnya fiksi yang ditanamkan untuk melawan Jerman. Mereka membayangkan bahwa sebagian dari mayat yang sering diperlihatkan pada mereka adalah bukti bahwa orang-orang Jerman telah membunuh secara sistematis para orang-orang yang dideportasi. Sebenarnya mereka adalah orang-orang yang dideportasikan yang mati karena berbagai penyakit epidemi dan rendahnya makanan yang mereka terima dalam kondisi mengerikan selama minggu-minggu terakhir masa perang. Dalam suasana Jerman yang hancur, miskin karena perang, pertumpahan darah, hampir-hampir dilanda kelaparan, hancur lebur karena dibom dimana bantuan makanan, obat-obatan dan berbagai transport tidak bisa sampai ditujuan. Sudah tentu orang orang pendeportasian yang dipindah-pindah dari satu kamp ke kamp lainnya, dan yang dalam suasana menangnya blok Timur dan Barat, hidup dalam suasana yang sengsara. Hasil dari kesengsaraan tersebut inilah yang difilmkan oleh para Sekutu dan diperlihatkan ke seluruh dunia. Darisinilah mereka dimaafkan tentang kesengsaraan mereka atau bahkan mereka menyembunyikannya.

Banyak dari mereka melihat tungku pembakaran dalam kamp-kamp yang dibebaskan. Tungku-tungku tersebut digunakan untuk membakar mayat-mayat.

Banyak orang melihat ruangan-ruangan bergaz pengusir virus (disinfection) dalam kamp-kamp yang sama. Ruangan-ruangan bergaz tersebut dipakai untuk membersihkan pakaian-pakaian dari penyakit.

Tungku-tungku dan ruangan-ruangan bergaz berguna untuk masalah kebersihan (higienik).

Penting dicatat dibawa efek sebuah propaganda, banyak orang yang akhirnya percaya bahwa ruangan-ruangan bergaz tersebut dan tungku-tungku tersebut dibuat untuk kepentingan yang sangat berlawanan yaitu untuk menghabisi hidup !

Banyak orang menceriterakan bahwa mereka mengunjungi di beberapa kamp-kamp ruangan-ruangan yang digunakan untuk membunuh. Pada realitasnya apa yang mereka lihat hanyalah kamar-kamar yang tak berguna (kamar mandi, kamar-kamar kosong dingin...) dan bahwa penanggung-jawab penanggung jawab museum (di Auschwitz, di Struthof, di Mauthausen, di Majdanek...) memperlihatkan ruangan-ruangan tersebut sebagai ruangan bergaz yang digunakan untuk membunuh orang-orang yang tak berdosa sebagai korban orang-orang Jerman.

Para pengunjung museum-museum tersebut haruslah waspada. Para pembaca buku-buku dan dokumen-dokumen mengenai deportasi seharusnya sadar akan letargi dimana mereka berusaha mempertahankannya. Saya secara pribadi juga percaya pada mitos-mitos tersebut. Dengan demikian saya setuju dengan orang-orang yang percaya mengenainya. Saya hanya menganggap mereka sebagai orang-orang korban sebuah kebohongan sejarah : yaitu yang mengenai percaya adanya pembunuhan massal dengan gaz (genocide), kemudian mengenai ceritera bersambung Holocauste dan yang mengenai ceritera "Shoah".

Kebohongan tersebut memang dibuat oleh orang-orang Yahudi. Kebohongan tersebut dilahirkan dilingkungan Yahudi asli dari Slowakia, Polandia selama perang. Kemudian dibawa dan berhenti sebentar oleh orang-orang dilingkungan Yahudi yang berada di Swiss yang menuju ke Inggris dan Amerika Serikat. Di lingkungan Yahudi Amerika, mereka mengorbitkan publikasi secara resmi pada tahun 1944 sebuah laporan yang tidak benar : Pengungsi perang di luar negeri (War Refugee Board) tentang Auschwitz. Laporan ini disiarkan dari Gedung Putih berfungsi untuk mendukung sebuah pilar besar sekali tentang kebohongan dan bahwa kemudian semua sekutu-sekutu termasuk didalamnya Uni Sovyet ikut serta membagikan perlawanannya terhadap Jerman yang menang. "Proses Nuremberg" berasal dari sini. Para sekutu berhasil memaksa Jerman untuk menyerahkan sebagian tanah jajahannya yang terpotong menjadi dua bagian dan yang diduduki oleh empat kekuatan pemenang. Pada "proses Nuremberg" kita diberitahu bahwa jumlah korban naik mencapai enam juta tanpa sedikitpun diberi bukti. Dengan "hecatombe" semacam ini yang dibuat secara khusus dalam sejarah, kita diberi tahu bahwa orang-orang Yahudi berhak terhadap reparasi (pembetulan kembali) yang tak terkecuali dalam sejarah: sebagai konsekwensinya mereka diberi semacam daerah teritorial yang menjadi milik bangsa lain. Demikianlah terciptanya suatu negara 1948 yaitu Israel. Tahun berikutnya, Nahum Goldman, presiden kaum Yahudi Internasional dan Ben Gurion pemimpin pemerintahan Israel menuntut sejumlah besar berbaikan finansial pada konselor Adenauer pemimpin pemerintahan Jerman dimana mereka berhasil memperolehnya melalui prinsip "Perjanjian Luxembourg" pada tahun 1950. Sejak tanggal tersebut, semua warga Jerman dari semua umur bahkan mereka yang termasuk pada generasi setelah perang, memberikan sumbangannya pada Israel dengan demikian jumlah uang tersebut menggunung sampai-sampai Nahum Goldman sendiri mengakuinya.

Perbaikan-perbaikan finansial yang diberikan tersebut berlangsung sampai dengan tahun 2000 lebih.

Kadang-kadang orang memperhatikan ide kaum revisionis (pembaharuan) sebagai berikut: "Orang-orang Yahudi yang telah menciptakan genocide yang salah, ruangan-ruangan bergaz dan enam juta untuk mengambil (dengan cara memaksa) uang dari Jerman. Kaum revisionis tidak mengatakan seperti itu. Mereka katakan: "Orang-orang Yahudi menciptakan kebohongan selama perang. Ini biasa-biasa saja dalam suasana perang untuk melawan musuh. Di kemudian hari, beberapa tahun setelah konflik ini, orang-orang Yahudi lainnya menuntut uang dari Jerman; mungkin saja tuntutan mereka ini berasal dari dasar hati mereka; mungkin dari perasaan sebagai korban-korban kerusuhan massal yang sistimatik jika mereka berani mengatakan: Jerman harus membayar perusakan-perusakan". Seperti bisa dilihat disini tidak ada komplot tidak juga pidato tetapi suatu evolusi natural dari jiwa-jiwa yang dilahirkan dari sebuah kepercayaan mitos-mitos yang mereka buat sendiri. Hal seperti ini sering terjadi di dalam sejarah. Orang-orang Yahudi mempunyai mitos-mitosnya sendiri seperti juga terjadi pada semua komunitas-komunitas yang lainnya. Dan semua orang biasanya mencari keuntungan-keuntungan dari situasi yang diberikannya; tetapi bisa terjadi karena terlalu ingin memperoleh keuntungan kita bisa membuat kesalahan kita sendiri. Menurut pendapat saya ini yang terjadi pada orang-orang Yahudi. Mereka teracun oleh agama mereka sendiri dari Holocauste dan mencari orang-orang lain agar teracun olehnya. Mereka menimbulkan reaksi skeptis dan penolakan. Mereka dengan kata lain bertanggung jawab terhadap kaum revisionis dengan segala kemajuannya. Senjata n1 pemerintah Israel bukanlah bom atom tetapi propagandanya mengenai "Holocauste". Atau senjata itu menjadi semakin sensitif. Lagipula senjata tersebut dibuat hanya dari salah satu keadaan illusi kolektif, seperti dalam Sejarah, dan yang berpegangan pada cara-cara artifisial.

Bisa terjadi sekarang orang-orang Yahudi menolak agama dari "Holocaust". Tetapi jumlah mereka sangat sedikit dan mungkin tidak akan pernah menjadi efektif untuk menjadikannya positif dan menjadikannya masuk akal.

Sejak 1932, lingkungan dunia internasional kaum Yahudi telah menyebarkan kampanye melawan Hitler. Mereka menyatakan perang terhadap Jerman seperti perang melawan kebaikan terhadap kejelekan. Hitler telah memperlakukan orang-orang Yahudi Eropa sebagai musuh resmi. Beliau telah menciptakan pekerja paksa bagi yang mampu. Yang lain-lainnya telah dinetralisir dengan berbagai cara seperti yang kita dengar sebagai "musuh Negara". Beberapa lagi tentunya sudah dilahap dalam kamp-kamp konsentrasi atau pada kesempatan transit. Banyak orang-orang Yahudi yang mati dan banyak yang dapat mempertahankan hidup. Tidak ada perintah untuk mengeksterminasi orang-orang Yahudi, dan dalam kenyataan-kenyataannya, tidak ada eskterminasi. Tentu saja seperti dalam keadaan perang dimana saja pastilah ada perusakan-perusakan dimana kaum Yahudi maupun yang bukan telah menjadi korban-korbannya. Singkatnya bahwa orang-orang Yahudi yang hidup dari 1939 sampai dengan 1945 telah menjadi berita umum.

Sampai hari ini sangatlah mudah untuk dicatat bahwa orang-orang Yahudi masih ada. Bahkan setelah empat puluh tahun setelah perang mereka yang masih dapat mempertahankan diri dari kamp-kamp dan khususnya yang dari Auschwitz membicarakan mereka sendiri. Setiap orang Yahudi yang dapat mempertahankan hidupnya adalah bukti nyata tentang hidup mereka bahwa tidak ada eksterminasi Yahudi oleh Hitler. Secara pasti salah satu dari mereka selalu mempunyai tendensi memperlihatkan/memperkenalkan diri sebagai "khusus" dan memberi tahu kita bahwa ini suatu keajaiban kalau mereka dapat lolos dari pembunuhan/perusakan massal. Tetapi bila perkecualian-perkecualian dan keajaiban-keajaiban menumpuk sampai sedemikian rupa nampaknya kita berhadapan dengan keadaan alamiah. Didalam mayoritas mereka yang luas, para "pejuang yang berhasil lolos tersebut" mengenal apa yang dinamakan kamp-kamp konsentrasi; ada yang sampai mempunyai anak didalamnya, tidak wajib bekerja ; mereka sepertinya nampak sebagai " mulut yang tak berguna " ; orang-orang Jerman menurut logika yang mereka terapkan, harusnya mengeksterminasi mereka. Oran-orang Jerman tidak melakukannya hanya karena tidak ada perintah dalam hal ini. Orang Yahudi seperti Simon Wiesenthal ingin meyakinkan kita bahwa Hitler mungkin kadang-kadang lupa untuk membunuhnya. Dari sini orang masih memerlukan suatu kepastian : kamp-kamp yang didirikan untuk kaum Yahudi oleh Hitler bukanlah kamp-kamp eksterminasi karena banyak sekali orang-orang Yahudi yang kembali ketempat tersebut.

Para pejabat Israel sangat bersemangat, bukan untuk terorisme, bukan untuk kemampuan militer bangsa Arab atau kaum Islam tetapi terhadap kemajuan kaum revisionis yang bersejarah. Begin dan Navon telah menyatakannya. Seorang sionis (Dr. W.D. Rubinstein, Perguruan ilmu-ilmu sosial, Universitas Deakin di Australia dalam majalah Bangsa, 21 juni 1979, hal 639) menyingkat pemikiran-pemikiran mereka saat beliau menulis : Jika Holocauste nampak sebagai kekecewaan, senjata No1 dari senjata-senjata propaganda Israel menghilang.

Sabtu, 17 Juli 2010

SAKIT YANG MENYEMBUHKAN


Allah sudah menitipkan kekuatan-Nya dalam tubuh manusia untuk menyembuhkan dirinya sendiri


وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ



“dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan Aku,” (Q.S. Asy-Syu’araa [26] :80)

Ayat ini sering terpasang di dinding rumah sakit Islam dan menjadi ayat favorit di fakultas kedokteran Islam. Sebuah ayat yang membesarkan hati pasien dengan harapan akan disembuhkan oleh Allah.

Az-Zamakhsary dalam Tafsir Al-Kasyaaf mengatakan bahwa sakit itu akibat ulah manusia sendiri yang bersumber dari makanan dan minuman yang dikonsumsi dan kemudian Allah lah yang menyembuhkan.

Al-Qurthuby dalam Jami’ul Ahkam mengungkap sebuah makna lain, yaitu bahwa sakit itu datang dari setan sedangkan sembuh datang dari Allah. Al-Alusy dalam Ruhul Ma’any berpendapat bahwa hakikatnya sakit juga takdir dari Allah. Tapi demi adab kesopanan, hal-hal buruk tidak pantas disandangkan penyebabnya kepada Allah Swt.

Apakah benar bahwa sakit itu buruk? Dr. Andrew Weil, M.D. (dokter lulusan Harvard) dalam buku Spontaneous Healing mengatakan bahwa rasa sakit itu bagus karena ia menunjukkan bahwa ada gangguan di suatu tempat sehingga bisa dilakukan penyembuhan.

Penyakit tidak harus dihadapi dengan berperang atau digempur dengan obat antibiotik yang justru menjadikan bakteri dan virus bermutasi menjadi jenis baru yang lebih bandel dan ganas.

Penyakit harus dihadapi dengan upaya peningkatan daya tahan tubuh secara sabar dan terus menerus. Dengan pola makan serta gaya hidup jasmani dan ruhani yang baik, tubuh bisa menyembuhkan dirinya sendiri. Kecuali untuk kasus-kasus gawat darurat yang memerlukan tindakan medis tertentu.

Dengan demikian, ayat tersebut di atas bisa ditafsirkan ke dalam beberapa pengertian.

Pertama, Allah menyembuhkan suatu penyakit secara langsung sehingga membuat penyakit tersebut tiba-tiba hilang secara ajaib, baik dengan doa atau pun tidak. Kesembuhan seperti ini lebih bersifat pasif, untung-untungan, dan menunggu mukjizat.

Kedua, Allah menyembuhkan melalui faktor di luar diri penderita sakit (semisal dokter, tabib, terapis) dan benda (semisal obat, ramuan, alat-alat). Ini berarti kesembuhan diraih melalui perantara dan ikhtiar tertentu.

Ketiga, Allah sudah menitipkan kekuatan-Nya dalam tubuh manusia untuk menyembuhkan dirinya sendiri. Penyembuhan dengan cara self-healing ini bisa dipelajari oleh semua manusia.

DR. A. M. Isran MBA, (penemu senam Perkasa yang didasarkan pada gerakan shalat) memaknai ayat di atas secara berbeda. Ia berpendapat bahwa apabila aku sakit, maka dia (penyakit tersebut) lah yang menyembuhkan aku. Penjelasannya begini, adanya penyakit bisa diketahui melalui rasa sakit ketika simpul-simpul syaraf di tubuh dirangsang pijitan.

Kebanyakan simpul-simpul itu berada di ruas-ruas jari tangan dan kaki, pergelangan tangan dan matakaki, sambungan sikut dan dengkul, sekitar mata, serta cuping hidung dan daun telinga. Dengan terapi di titik-titik itu, endapan yang menyumbat syaraf bisa dibongkar sehingga aliran bio-elektrik lancar dan badan menjadi sehat kembali.

Proses terapinya memang menimbulkan rasa sakit dan nyeri hingga membuat badan berkeringat. Nah, rasa sakit waktu dipijit itulah yang menjadi sebab sembuhnya penyakit. Jadi, sakit itu menyembuhkan bukan? Wallahu a’lam.

Jodoh atau Kembaran?


Di sana, setiap orang mempunyai kembaran dengan sifat yang berlawanan. Dan bagi Allah semua itu mudah saja


“Mahasuci Dia yang menjadikan segala sesuatu berpasangan, dari yang tumbuh di bumi, dan dari diri mereka, dan dari apa yang tidak mereka ketahui.” (Q.S. Yaasin [36]: 36)

Selama ribuan tahun, kata berpasangan dalam ayat tersebut di atas diartikan sebagai pasangan gender. Ada laki-laki dan ada juga perempuan. Semua orang pasti mempunyai jodoh. Semua orang pasti akan menikah dan mempunyai suami atau isteri.

Ketika ternyata banyak orang yang tetap lajang atau jomblo sampai wafat, maka kemudian dicari tafsir lain. Dikatakan bahwa nanti di akhirat mereka akan mendapatkan pasangan bidadari. Tafsiran tersebut kontradiksi karena ayat ke-36 surat Yaasin tersebut berbicara tentang pasangan dari apa yang tumbuh di bumi. Karenanya harus ada tafsiran lain yang lebih pas.

Berkenaan dengan hal ini, ada satu teori menarik dalam ilmu fisika mutakhir. Professor Paul Dirac, ilmuwan Inggris pemenang Nobel tahun 1933, berteori bahwa materi diciptakan berpasangan. Pasangan dari materi adalah anti-materi, yaitu zat yang memiliki properti berlawanan dengan materi.

Kalau materi tersusun dari elektron bermuatan negatif dan mengitari proton yang bermuatan positif, maka anti-materi memiliki elektron yang bermuatan positif dan proton yang bermuatan negatif.

Hal ini memungkinkan setiap partikel mempunyai pasangan anti-partikel yang muatannya berlawanan. Proses terbentuk dan musnahnya pasangan tersebut berlangsung secara terus menerus (setiap saat dan di semua tempat) dalam ruang hampa.

Makna kalimat berpasangan dari apa yang mereka tidak ketahui (wa mimma la ya'lamun) dalam ayat tersebut di atas berimplikasi luas, yaitu dugaan (karena sais saat ini belum bisa mengungkap) bahwa semua materi mempunyai pasangannya masing-masing.

Misalnya, black-hole (lubang hitam) pasti memiliki pasangan yakni white-hole (lubang putih). Kalau black-hole bersifat menyedot semua materi termasuk cahaya ke dalam pusatnya, maka diduga white-hole justru memuntahkan semua materi dari pusatnya sehingga keseimbangan tetap berlangsung di jagat raya ini.

Jagat raya yang tersusun dari materi juga memiliki pasangan berupa materi gelap (dark-matter) yang belum bisa terdeteksi dengan instrumen apapun. Energi yang ada di alam ini pun memiliki pasangan yakni energi gelap (dark-energi) yang juga belum bisa diukur dengan alat yang ada sekarang ini.

Kita juga mengenal teori tentang adanya alam kembar (paralel-universe) sebagai penyeimbang alam yang kita diami saat ini. Di alam kembaran tersebut, segala sesuatunya serba berkebalikan dari alam yang kita diami ini. Di sana, setiap orang mempunyai kembaran dengan sifat yang berlawanan dan bagi Allah semua itu mudah saja.

Wallahu 'ala kulli syai'in qodiir.

Antara Benci dan Cinta


Maka berhati-hatilah, jangan terlalu cinta pada sesuatu dan juga jangan terlalu benci karena hal itu sewaktu-waktu bisa berbalik


كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ

diwajibkan atas kamu berperang, Padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. boleh Jadi kamu membenci sesuatu, Padahal ia Amat baik bagimu, dan boleh Jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, Padahal ia Amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS.Al Baqarah : 216)

Asbabun nuzul ayat di atas adalah berkenaan dengan kebencian pada berperang di jalan Allah. Tapi coba perhatikan ayat tersebut di atas dengan saksama, kata benci dan cinta disatukan dalam satu ayat. Tentu saja, ini membuat penasaran. Seolah-olah dalam ayat tersebut diisyaratkan adanya kedekatan makna di antara dua hal yang bertolak belakang tersebut. Sebuah pepatah mengatakan, “Batas antara cinta dan benci hanyalah setipis rambut.” Bagaimana dengan temuan ilmiahnya?

Semir Zeki dan John Romaya dari University College (London) telah membuat peta sirkuit syaraf otak orang-orang yang terlibat cinta. Mereka berdua meneliti 17 orang yang sedang membenci seseorang, sebagian besar dari orang yang dibenci tersebut adalah orang yang pernah dicintai.

Kepada masing-masing responden ditunjukkan foto orang yang dibenci selama 16 detik dan pada saat yang bersamaan alat scanner memetakan aktivitas otak mereka. Hasilnya menunjukkan adanya dua wilayah (sektor) otak yang sama-sama aktif ketika ada rangsangan emosi benci maupun cinta. Dua sektor tersebut dinamakan Putamen dan Insular Cortex.

Putamen berfungsi mempersiapkan gerakan tubuh sehingga bisa menjadi aktif saat bersiap membela yang orang dicintai atau bersiap menyerang orang yang dibenci. Sedangkan insular cortex berhubungan dengan perasaan tertekan seperti rasa cemburu. Selain itu, ditemukan pula fakta bahwa frontal cortex (sektor yang berhubungan dengan kegiatan pertimbangan dan alasan) bekerja kurang aktif ketika berhadapan dengan orang yang dicintai. Ini mengakibatkan daya kritis berkurang pada mereka yang jatuh cinta. Sebaliknya, sektor ini tetap aktif ketika berhadapan dengan yang dibenci.

Zeki dan Romaya mendapati bahwa aktifitas otak selaras dengan tingkat kebencian atau kecintaan terhadap satu obyek. Akhirnya, Zeki pun mengusulkan agar brain scanning digunakan dalam pengadilan untuk mendeteksi apakah ada rasa benci (yang tinggi) yang dimiliki tersangka terhadap korban dalam kasus pembunuhan.

Kesimpulannya, sektor otak yang digunakan untuk emosi cinta dan benci adalah sama. Maka berhati-hatilah, jangan terlalu cinta pada sesuatu dan juga jangan terlalu benci karena hal itu sewaktu-waktu bisa berbalik. Ya jangan terlalu cinta kecuali kepada Allah dan Rasul-Nya. Wallahu a’lam.

DAN TANAMAN PUN BERTASBIH…


Subhanallah! Terjawab sudah makna ayat yang menyatakan bahwa tumbuhan bisa bertasbih dan bersujud kepada Allah Swt


وَالنَّجْمُ وَالشَّجَرُ يَسْجُدَانِ



“Dan tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohonan kedua-duanya tunduk kepada-Nya.” (Q.S Ar-Rahman [55]: 6)

Dalam Al-Quran, masih banyak ayat seperti di atas yang menyebut tentang tanaman dan pepohonan bertasbih dan bersujud kepada Allah. Selama ini, ayat-ayat tersebut ditafsirkan hanya sebagai kiasan. Artinya, tumbuhan bersujud dan bertasbih dengan cara tunduk pada hukum alam (sunnatullah).

Tanaman dianggap makhluk tak berjiwa. Mereka yang meyakini tanaman berjiwa akan dicap sebagai penganut animisme atau dinamisme yang musyrik. Sayang sekali, padahal hal itu (konsepsi pohon berjiwa) mengandung isyarat ilmu. Akhirnya, ilmuwan non-muslim lah yang berhasil menemukan fakta ilmiah tumbuhan yang mempunyai jiwa dan kecerdasan.

Richard Karban, ahli ekologi University of California, dalam makalahnya yang berjudul Ecology Letter di tahun 2008 membuktikan bahwa tumbuhan bisa merespon situasi lingkungannya. Mereka bisa berkomunikasi satu sama lain, bahkan juga saling memperebutkan mangsa. Mereka bisa bereaksi sama terhadap stimulus yang pernah dialami. Ini artinya mereka mempunyai memori.

Tanaman pemangsa bisa bergerak secepat 1/30 detik menangkap serangga. Bahkan bunga Morus Alba dapat menyergap mangsa dengan kecepatan kilat Mach 0.5. Tanaman lain bisa bergerak melingkar lebih lambat dalam hitungan beberapa jam.

Tanaman juga ‘berburu’ di bawah tanah dengan akarnya. Long Li, ilmuwan dari China Agricultural University (Beijing), meneliti respon akar kacang yang menyemburkan zat kimia asam untuk mengejar dan menangkap cairan fosfor (yang ia perlukan) di dalam tanah. Ketika serangga jenis tertentu memakan atau melubangi daunnya, tanaman tersebut mengeluarkan berbagai jenis zat kimia yang dapat ‘memanggil’ serangga jenis lain yang merupakan musuh serangga pertama. Bukan hanya itu, tanaman di sekitarnya juta ikut ‘berteriak’ dan membuat pertahanan.

Anthony Trewavas dari University of Edinburgh dalam bukunya mengatakan bahwa tanaman punya kemampuan problem solving. Ini berarti bahwa mereka memiliki kecerdasan. Pada bulan Mei 2009, para peneliti plant neurobiology berkumpul untuk kelima kalinya di Florence (Italia) untuk membahas keberadaan otak pada tumbuhan. Consuelo M De Moraes dari Penn State University menemukan bahwa tanaman bisa membedakan dirinya dari tanaman sejenis. Ini mengindikasikan bahwa tanaman mempunyai kepribadian khas yang membedakannya dengan tanaman (sejenis) lain.

Subhanallah! Terjawab sudah makna ayat yang menyatakan bahwa tumbuhan bisa bertasbih dan bersujud kepada Allah Swt. Shodaqallahul adzim.

Kamis, 08 Juli 2010

RAHASIA BERSERAH DIRI DAN BERTAWAKAL KEPADA ALLAH


Berserah diri kepada Allah merupakan ciri khusus yang dimiliki orang-orang mukmin, yang memiliki keimanan yang mendalam, yang mampu melihat kekuasaan Allah, dan yang dekat dengan-Nya. Terdapat rahasia penting dan kenikmatan jika kita berserah diri kepada Allah. Berserah diri kepada Allah maknanya adalah menyandarkan dirinya dan takdirnya dengan sungguh-sungguh kepada Allah. Allah telah menciptakan semua makh luk, binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun benda-benda tak bernyawa — masing-masing dengan tujuannya sendiri-sendiri dan takdir nya sendiri-sendiri. Matahari, bulan, lautan, danau, pohon, bunga, seekor semut kecil, sehelai daun yang jatuh, debu yang ada di bangku, batu yang menyebabkan kita tersan dung, baju yang kita beli sepuluh tahun yang lalu, buah persik di lemari es, ibu anda, teman kepala sekolah anda, diri anda — pendek kata segala sesuatunya, takdirnya telah ditetapkan oleh Allah jutaan tahun yang lalu. Takdir segala sesuatu telah tersimpan dalam sebuah kitab yang dalam al-Qur’an disebut sebagai ‘Lauhul-Mahfuzh’. Saat kematian, saat jatuh nya sebuah daun, saat buah persik dalam peti es membusuk, dan batu yang menye babkan kita tersandung — pendek kata semua peris tiwa, yang remeh maupun yang penting — semuanya tersimpan dalam kitab ini.

Orang-orang yang beriman meyakini tak dir ini dan mereka mengetahui bahwa takdir yang diciptakan oleh Allah adalah yang ter baik bagi mereka. Itulah sebabnya setiap detik dalam kehidupan mereka, mereka selalu berserah diri kepada Allah. Dengan kata lain, mereka mengetahui bahwa Allah mencipta kan semua peristiwa ini sesuai dengan tujuan ilahiyah, dan terdapat kebaikan dalam apa saja yang diciptakan oleh Allah. Misalnya, terse rang penyakit yang berbahaya, menghadapi musuh yang kejam, menghadapi tuduhan palsu padahal ia tidak bersalah, atau mengha dapi peristiwa yang sangat mengerikan, semua ini tidak mengubah keimanan orang yang beriman, juga tidak menimbulkan rasa takut da lam hati mereka. Mereka menyambut dengan rela apa saja yang telah diciptakan Allah untuk mereka. Orang-orang beriman menghadapi dengan kegembiraan keadaan apa saja, keadaan yang pada umumnya bagi orang-orang kafir menyebabkan perasaan ngeri dan putus asa. Hal itu karena rencana yang paling mengerikan sekalipun, sesung guh nya telah direncanakan oleh Allah untuk menguji mereka. Orang-orang yang meng hadapi semuanya ini dengan sabar dan ber tawakal kepada Allah atas takdir yang telah Dia ciptakan, mereka akan dicintai dan diridhai Allah. Mereka akan memperoleh surga yang kekal abadi. Itulah sebabnya orang-orang yang beriman memperoleh kenikmatan, ketenangan, dan kegembiraan dalam kehidupan mereka karena bertawakal kepada Tuhan mereka. Inilah nikmat dan rahasia yang dijelaskan oleh Allah kepada orang-orang yang beriman. Allah menjelaskan dalam al-Qur’an bahwa Dia mencintai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya. (Q.s. Ali ‘Imran: 159) Rasulullah saw. juga menyatakan hal ini, beliau bersabda:

“Tidaklah beriman seorang hamba Allah hingga ia percaya kepada takdir yang baik dan buruk, dan mengetahui bahwa ia tidak dapat menolak apa saja yang menimpanya (baik dan buruk), dan ia tidak dapat terkena apa saja yang dijauhkan darinya (baik dan buruk).”1

Masalah lainnya yang disebutkan dalam al-Qur’an tentang bertawakal kepada Allah adalah tentang “melakukan tindakan”. Al-Qur’an memberitahukan kita tentang ber bagai tindakan yang dapat dilakukan orang-orang yang beriman dalam berbagai keadaan. Dalam ayat-ayat lainnya, Allah juga menjelas kan rahasia bahwa tindakan-tindakan tersebut yang diterima sebagai ibadah kepada Allah, tidak dapat mengubah takdir. Nabi Ya‘qub a.s. menasihati putranya agar melakukan bebe rapa tindakan ketika memasuki kota, tetapi setelah itu beliau diingatkan agar bertawakal kepada Allah. Inilah ayat yang membicarakan masalah tersebut:

“Dan Ya‘qub berkata, ‘Hai anak-anakku, janganlah kamu masuk dari satu pintu gerbang, dan masuklah dari pintu-pintu ger bang yang berlainan, namun demikian aku tidak dapat melepaskan kamu barang sedikit pun dari (takdir) Allah. Keputusan menetap kan (sesuatu) hanyalah hak Allah; kepada-Nyalah aku bertawakal dan hendak lah kepada-Nya saja orang-orang yang berta­wakal berserah diri’.” (Q.s. Yusuf: 67).

Sebagaimana dapat dilihat pada ucapan Nabi Ya‘qub, orang-orang yang beriman tentu saja juga mengambil tindakan berjaga-jaga, tetapi mereka mengetahui bahwa mereka tidak dapat mengubah takdir Allah yang dikehendaki untuk mereka. Misalnya, sese orang harus mengikuti aturan lalu lintas dan tidak mengemudi dengan sembarangan. Ini merupakan tindakan yang penting dan meru pa kan sebuah bentuk ibadah demi kesela matan diri sendiri dan orang lain. Namun, jika Allah menghendaki bahwa orang itu meninggal karena kecelakaan mobil, maka tidak ada tindakan yang dapat dilakukan untuk mencegah kematiannya. Terkadang tindakan pencegahan atau suatu perbuat an tampaknya dapat menghindari orang itu dari kematian. Atau mungkin seseorang dapat melakukan keputusan pen ting yang dapat mengubah jalan hidup nya, atau seseorang dapat sembuh dari penyakitnya yang memati kan dengan menunjukkan kekuatannya dan daya tahannya. Namun, semua peristiwa ini terjadi karena Allah telah menetapkan yang demikian itu. Sebagian orang salah menafsir kan peristiwa-peristiwa seperti itu sebagai “mengatasi takdir sese orang” atau “mengubah takdir seseorang”. Tetapi, tak seorang pun, bahkan orang yang sangat kuat sekalipun di dunia ini yang dapat mengubah apa yang telah ditetapkan oleh Allah. Tak seorang manusia pun yang memi liki kekuatan seperti itu. Sebaliknya, setiap makhluk sangat lemah dibandingkan dengan ketetapan Allah. Adanya fakta bahwa sebagian orang tidak menerima kenyataan ini tetap tidak meng ubah kebenaran. Sesungguhnya, orang yang menolak takdir juga telah ditetap kan demi kian. Karena itulah orang-orang yang meng hin dari kematian atau penyakit, atau meng ubah jalannya kehidupan, mereka mengalami peristiwa seperti ini karena Allah telah menetapkannya. Allah menceritakan hal ini dalam al-Qur’an sebagai berikut:

“Tidak ada suatu bencana pun yang me nimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul-Mahfuzh) sebelum Kami mencipta kannya. Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah. Supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri. (Q.s. al-Hadid: 22-3).

Sebagaimana dinyatakan dalam ayat di atas, peristiwa apa pun yang terjadi telah dite tap kan sebelumnya dan tertulis dalam Lauh Mahfuzh. Untuk itulah Allah me nyata kan kepada manusia supaya tidak ber duka cita terhadap apa yang luput darinya. Misalnya, seseorang yang kehilangan semua harta ben da nya dalam sebuah kebakaran atau meng alami kerugian dalam perdagangannya, semua ini memang sudah ditetapkan. Dengan demi kian mustahil baginya untuk menghin dari atau mencegah kejadian tersebut. Jadi tidak ada gunanya jika merasa berduka cita atas kehilangan tersebut. Allah menguji hamba-hamba-Nya dengan berbagai kejadian yang telah ditetapkan untuk mereka. Orang-orang yang bertawakal kepada Allah ketika mereka menghadapi peristiwa seperti itu, Allah akan ridha dan cinta kepadanya. Seba liknya, orang-orang yang tidak berta wakal kepada Allah akan selalu mengalami kesulit an, keresahan, ketidakbahagiaan dalam kehidupan mereka di dunia ini, dan akan memperoleh azab yang kekal abadi di akhirat kelak. Dengan demiki an sangat jelas bahwa bertawakal kepada Allah akan membuahkan keberuntungan dan kete nang an di dunia dan di akhirat. Dengan me nyingkap rahasia-rahasia ini kepada orang-orang yang beriman, Allah membebaskan mereka dari berbagai kesulitan dan menjadi kan ujian dalam kehidupan di dunia ini mu dah bagi mereka.

Harun-Yahya : BEBERAPA RAHASIA AL-QUR’AN

10 Reasons Why Aadam (alayhi salaam) was the last of creation….


Shaykul Islaam ibn Qayyim al-Jawziyyah
Reference: Fawaa’id ul Fawaa’id of ibn ul Qayim – p. 103
Category: Sayings of the Salaf

The first thing Allah created was the pen (as it was mentioned in the hadeeth of Ubaadah Ibn Samit (radiallahu anhu) found in the Sunan of Abu
Dawud), in order to write down everything that was decreed to take place before anything was brought into existence. Adam (alayhi asalaam) was the
last of creation and there was remarkable wisdom in this which was:

The First: To prepare the dwelling place before the inhabitants settle therein.

The Second: Everything that was created was done so for the purpose of making it subservient to Adam (alayhi asalaam) and his progeny. This
includes the heaven, the earth, the sun, the moon, the land and sea.

The Third: The Most Prestigious Designer (i.e. Allah (subhana wa ta’ala)) finishes His work with His most precious creation exerting the best of His
vigor in order to make it the epitome of all of His past work. Just as He begins His work making it the foundation.

The Fourth: The human desire is always to be last, look at what Musa (alayhi asalaam) said to the magicians:

َقَالَ لَهُم مُّوسَى أَلْقُواْ مَآ أَنتُم مُّلْقُون
“You throw first what you are going to throw…” (26:43)

So when the people saw what the magicians threw, they were filled with anticipation for what Musa (alayhi asalaam) was going to throw afterwards.

The Fifth: Allah (subhana wa ta’ala) delayed His most prestigious Book (i.e. the Qur’an), Prophet (i.e. Muhammad Ibn Abdullah (salla allahu alayhi wa
salaam)) and generation (i.e. the Sahabah (radiallahu anhum)) to the end of time. He made the latter better than the former and as the saying goes:
“The end is always more complete and perfect than the beginning!” Consider carefully how much time was between the statement of Jibreel (alayhi
asalaam):

اقْرَأْ
“Read!”

And the reply of Prophet (salla allahu alayhi wa salaam):

مَا أَنَا بِقَارِئٍ
“I don’t know how to read!” (Sahih Al Bukhari)

And the final verse revealed of the Qur’an:

ًألْيَومَ أَكْمَلْتُ لَكُم دِينَكُم وَ أَتْمَمْتُ عَلَيكُم نِعْمَتِي وَ رَضِيتُ لَكُمُ الْاِسْلَامَ دِينا
“This day I have completed for you, your religion and perfected My favor upon you and I am pleased with Islam as your religion.” (5:3)

The Sixth: Allah (subhana wa ta’ala) combined in the creation of Adam (alayhi asalaam) all of what He dispersed throughout the earth. The creation of
Adam contains everything that is in the life of this world as well as the greater world in the hereafter!

The Seventh: Adam (alayhi asalaam) is the quintessence of all creation and the sole reason why they were even brought into existence. Thus it was
only appropriate that his creation be brought into subsistence after all other forms of creation were created.

The Eighth: From the bounty of Allah (subhana wa ta’ala) upon the creation of Adam is that He prepared for him everything that was going to be a
benefit for him in this life. He provided Adam with everything that was going to satisfy his needs and the tools by which he can earn his living and
the necessities to sustain his life. With the mere lift of his head, he can find everything he needs present right in front of him!

The Ninth: Allah wanted to expose the nobility of Adam over the rest of creation so He created them first and this is why the angels said: “Our Lord
is going to create what He wills, but He will never bring into existence a creature more honorable to Him than us!”

So when Allah created Adam (alayhi asalaam) and commanded them to prostrate to him, at that moment, Allah exposed his virtue and nobility over
them by way of the knowledge and understanding He endowed him with. But when Adam committed the sin (i.e. eating from the tree), the angels
thought that he was stripped of his virtue and nobility!

However, they were unaware of the potential of sincere repentance! So when Adam performed that magnificent act of worship (i.e. repentance) to
his Lord, the angels knew at that moment that Allah has a secret relationship with the human race, they obviously didn’t know about!!!

The Tenth: When Allah began the creation of this world by the pen, it was absolutely appropriate for Him to finish it with the creation of the human
being. For indeed the pen is a tool for seeking knowledge and the human being is intelligent with the potential to be a person of knowledge! So
when Allah exposed the virtue of Adam over the angels it was by way of knowledge which Allah specified the creation of Adam with.

Translated by Abu Azzubayr Shadeed Muhammad on Febuary 12, 2010 in the capital of Saudi Arabia, Riyadh.

Hold your brothers hand......


It is SUNNAH to hold your brothers hand. There are many mentions of Rasool Allah or the sahabah walking together holding hands. It is friendship and human nature to be loving and caring towards brothers and comfortable with one another, not guarded as if our brothers are a disease. This is a disease of the heart which kills brotherhood. This is from the note Advice of a brother one to another. Kumail ibn Ziyad[1] said: ‘Ali lbn Abi Talib took hold of my hand and took me off towards the desert so when we reached it he sat down, then took a deep breath and then said:

“Oh Kumail ibn Ziyad – the hearts are receptacles, so the best of them is the one which preserves best…”

Let us speak for a moment about Umar bin Al Khattab, Commander of the Faithful, Prince of the Believers, the great warrior our brother whom even the shaytan would run away from:

On the authority of Abu Zubair who heard Jabir being questioned as to how many people were there on the Day of Hudaibiya He replied: We were fourteen hundred. We swore fealty to him (Prophet Muhammed peace be upon him), and Umar was holding his hand while he was sitting Under the tree… Abu Dawud Book 020, Hadith 4578)

This hadith was reported soley to mention the holding of hands:
‘Abdullah bin Hisham Narrated: We were with the Prophet while he was holding ‘Umar bin Al-Khattab by the hand. Bukhari Volume 5, Book 57, Number 43.

These were the salaf! The fiercest warriors, the softest of hearts. The fierce male lion is still an affectionate creature towards the other males in the pride. So are animals above mankind in rank and status?

“Have they not seen how We created for them, by Our own handiwork, livestock which are under their control? We have made them tame for them and some they ride and some they eat. And they have other uses for them, and milk to drink. So will they not be thankful? (Surah Ya Sin, 71-73)

The animals are subservient to us so we should be above them in kindness and affection!


It should come naturally, we shouldn’t retract our hands from our brothers, or feel ashamed to hold their hand. How far has the society around you destroyed brotherhood between the Muslims? Now we cannot even offer the simplest act to those Muslims who we take as close companions in this dunya. We cannot even care that our brother crosses the road safely with our “every man for himself” mentality. Do not let the opinions of the kuffar sway your practise of brotherhood with your brothers. Do they care about their practises, or care what you think? No, they do not even care about what Allah the Mighty and Majestic thinks. We should only care what Allah thinks, and do everything for His sake.

So the question comes, in what way do we hold hands. Holding the hands in any way is acceptable because the wording in the adaheeth is general. Also the instances in these ahadeeth are different. One when sitting under a tree (not walking), another while walking normally, and the other was taken calmly to advise, so we can hold hands in any ways. Ofcourse we hold the hands of our wives differently in our hearts, because they are different types of love. We do not love our wives like we love our companions and friends, or our collective brothers and sisters of the ummah, or our parents.

Sahih Bukhari Volume 1, Book 8, Number 468: Narrated Abu Musa [R.A.]: The Prophet [S.A.W.] said, “A faithful believer to a faithful believer is like the bricks of a wall, enforcing each other.” While (saying that) the Prophet clasped his hands, by interlacing his fingers.

Al-Bayhaqi narrated that Abu Dharr said: I said, “O Messenger of Allaah, what will save a person from Hellfire?” He (peace be upon him) said, “Belief in Allaah.” I said, “O Messenger of Allaah, are there are any deeds that should accompany that belief?” He said, ‘He should give from that provision which Allaah has granted him.” I said, “O Messenger of Allaah, what if he is poor and does not have anything to give?” He said, “He should enjoin what is good and forbid what is evil.” I said, “O Messenger of Allaah, what if he cannot enjoin what is good and forbid what is evil?” He said, “He should help the one who is helpless (i.e., has no skills and cannot earn a learning).” I said, “What if he himself is helpless and cannot do anything?” He said, “He should help one who has been wronged.” I said, “What if he is weak and cannot help one who has been wronged?” He said, “You do not want to think of your companion as having any good in him. Let him refrain from harming people.” I said, “O Messenger of Allaah, if he does that, will he enter Paradise?” He said, “There is no believer who does not strive to acquire one of these characteristics, but I will take him by the hand and lead him into Paradise.” (Classed as Saheeh by al-Albaani in al-Targheeb, 876)

There are some Sunnah’s that a brother cannot do alone. Some require others to fulfill that sunnah. Holding the hand which is a simple Sunnah that gains reward, could be the very reward that shades you on the day of no shade, and spares you from the hellfire. It was the practise and way (Sunnah) of Rasool Allah and his companions. We should do as the salaf did.

Hadith on Taqwa


Abu Dhar Jundub bin Junadah and Abu Abdul Rahman Mu’adh bin Jabal, radiyallahu anhuma, reported that the Messenger of Allah, sallallahu ‘alayhi wasallam, said:

“Fear Allah wherever you may be; follow up an evil deed with a good one which will wipe (the former) out, and behave good-naturedly towards people.”

[Al-Tirmidhi relates it, saying: It is a good (hasan) Tradition. In some copies he says: It is a good and genuine (hasan and sahih) Hadith.]

background

Taqwa is one of the most important and comprehensive Islamic concepts. The term is derived from its root “waqayya” which means “to protect.” Taqwa therefore means to protect one own self from the severe punishment of Allah by following His guidance.

Some translate Taqwa as “to fear Allah”. However, fearing Allah is only one aspect of this comprehensive concept. Ali ibn Abi Talib, radiyallahu anhu, defines it as: “Fearing Allah, adhering to His commandments, being content with what He provides one with, and getting ready for the Day of Judgement.”

Mohammad Asad translates it as “to be conscious of Allah.” It might be better according to some Muslim linguist to use the transliteration of this Qur’anic term and keep it as it is.

The term has been mentioned many times both in Qur’an and Sunnah. Allah the Almighty says:

“O believers! Have Taqwa of Allah as is His right to have Taqwa. And die not except while you are Muslims”
[Surah Al-Imran (3): ayat 102]

By realization of Taqwa a Muslim is granted many bounties and blessings which he/she may gain. Among them are: the Love of Allah, a criterion by which to judge and distinguish between right and wrong, a way out of difficulties, matters will be made easier for him/her, sins will be remitted, guidance, help to acquire beneficial knowledge, prosperity and success.

lessons
According to Ibn Rajab’s view as well as other scholars, Taqwa is to fulfill obligations and avoid prohibitions and doubtful matters. It is the advice of Allah to all humankind, and it is the advice of all prophets, alayhim al-salam, to their people. Prophet Mohammad, sallallahu ‘alayhi wasallam, used to advise and continuously remind his Companions about Taqwa in all his talks and on different occasions.

Those who define Taqwa as “fearing Allah” look at the concept as a motive, because according to early scholars the minimum level of fearing Allah is what motivates a Muslim to fulfill obligations and keeps him/her away from prohibitions.

Taqwa does not imply perfection. Those who have Taqwa are subject to commit sins. However, if they do so, they repent right away and follow up the bad deed they have done with a good deed to wipe the bad one out as mentioned in this hadith. This clarifies the debatable issue between some scholars: whether or not avoiding minor sins is considered an aspect of Taqwa.

Allah the Almighty and all Merciful has left the door of forgiveness opened to many means by which the punishment for a sin might be removed. To do good deeds right after bad ones to wipe them out is one mean. This is mentioned in Surah Hud, ayat 114: “Verily, the good deeds remove the evil deeds.”
There are other ways and means by which sins are forgiven as stated in the Qur’an and Sunnah such as:

Istighfar (seeking forgiveness by supplication)
Tubah (repentance)
Du’a’ of Muslims for one another
The intercession by the Prophet, sallallahu ‘alayhi wasallam
The intercession of pious Muslims
Performing the daily five prayers regularly and on time
Afflictions
The torment in the grave
The horrible scenes and events of the Last Day
The mere Mercy and Forgiveness from Allah
If we do a good deed, Allah will reward us by guiding us to do another good deed. Hence, doing a good deed will lead to doing another good deed. Doing a bad deed without regretting it or without istighfar or wiping it out by doing a good deed will most likely lead to doing another bad deed, whether of the same type or of a different type. By doing a bad deed with that attitude makes the person subject to repeat it again and again and doing other bad deeds becomes possible until the heart of that person is “sealed” and the person turns into a transgressor.

It is an obligation that every Muslim should treat others, deal with them, and interact with them in a good manner. Ibn Rajab says in his commentary: “Having good character is a characteristic of Taqwa. Taqwa cannot be complete without it. It was mentioned here by itself due to the need for explicitly explaining that point. Many people think that Taqwa implies fulfilling the rights of Allah without fulfilling the rights of humans. Therefore, the Prophet, sallallahu ‘alayhi wasallam, explicitly stated that he/she must deal with people in a kind manner.” This ruling is stressed in many other hadiths, of which the following are some:
“Piety and Righteousness is being of good character.” [Recorded by Imam Muslim]
“The believer with the most complete Iman (faith) is the one with the best behavior.” [Recorded by Imam Ahmad and Abu Dawud]
“There is nothing heavier in the scales than good character.” [Recorded by Imam Ahmad and Abu Dawud]
The Prophet, sallallahu ‘alayhi wasallam, made Iman (faith) and good character as the main basic criterion whether or not to accept a man for marriage.
conclusion

To fear Allah the Almighty, to adhere to His commandments, to follow doing a bad deed with a good deed to wipe it out, and to deal with others in a good manner and good character are all aspects of the concept of Taqwa.

Meeting with the Lord(Description of paradise)


Ibn al-Qayyim said, in regards to the description of the Paradise and the delights that it contains:

“And if you ask about its ground and its soil, then it is of musk and saffron.

And if you ask about its roof, then it is the Throne of the Most Merciful.

And if you ask about its rocks, then they are pearls and jewels.

And if you ask about its buildings, then they are made of bricks of gold and silver.

And if you ask about its trees, then it does not contain a single tree except that its trunk is made of gold and silver.

And if you ask about its fruits, then they are softer than butter and sweeter than honey.

And if you ask about its leaves, then they are softer than the softest cloth.

And if you ask about its rivers, then there are rivers of milk who’s taste does not change, and rivers of wine that is delicious to those who drink it, and rivers of honey that is pure, and rivers of water that is fresh.

And if you ask about their food, then it is fruits from whatever they will choose, and the meat of whatever birds they desire.

And if you ask about their drink, then it is Tasneem, ginger, and Kaafoor.

And if you ask about their drinking cups, then they are crystal-clear and made of gold and silver.

And if you ask about its shade, then a fast rider would ride in the shade of one of its trees for a hundred years and not escape it.

And if you ask about its vastness, then the lowest of its people would have within his kingdom and walls and palaces and gardens the distance that would be travelled in a thousand years.

And if you ask about its tents and encampments, then one tent is like a concealed pearl that is sixty miles long.

And if you ask about its towers, then they are rooms above rooms in buildings that have rivers running underneath them.

And if you ask about how far it reaches into the sky, then look at the shining star that is visible, as well as those that are far in the heavens that the eyesight cannot possibly reach.

And if you ask about the clothing of its inhabitants, then they are of silk and gold.

And if you ask about its beds, then its blankets are of the finest silk laid out in the highest of its levels.

And if you ask about the faces of its inhabitants and their beauty, then they are like the image of the Moon.

And if you ask about their age, then they are young ones of 33 years in the image of Adam, the father of humanity.

And if you ask about what they will be hearing, then it is the singing of their wives from among the Hoor al-’Ayn, and better than that are the voices of the Angels and the Prophets, and better than that is the Speech of the Lord of the Worlds.

And if you ask about their servants, then they are young boys of everlasting youth who resemble scattered pearls.

And if you ask about their brides and wives, then they are young and full-breasted and have had the liquid of youth flow through their limbs; the Sun runs along the beauty of her face if she shows it, light shines from between her teeth if she smiles; if you meet her love, then say whatever you want regarding the joining of two lights; he sees his face in the roundness of her cheek as if he is looking into a polished mirror, and he sees the brightness from behind her muscles and bones; if she were to be unleashed upon the World, she would fill what is between the Heavens and the Earth with a beautiful wind, and the mouths of the creation would glorifiy, praise, and exclaim greatness, and everything between the East and the West would be adorned for her, and every eye would be shut from everthing but her, and the light of the Sun would be outshone just as the light of the Sun outshines the light of the stars, and everyone on the face of the Earth would believe in the Ever-Living, the One who Sustains and Protects all the exists.

And the covering on her head is better than the World and all that is in it, and she does not increase with age except in beauty; free from an umbilical cord, childbirth and menses, and pure of mucous, saliva, urine and other filthy things; her youth never fades, her clothing is never worn out, no garment can be created that matches her beauty, and no one who is with her can ever become bored; her attention is restricted to her husband, so she desires none but him, just as his attention is restricted to her so she is the sole object of his desire, and he is with her in utmost safety and security, as none has touched her before of either humans or Jinn.

And if you ask about the Day of Increase (in reward) and the visit of the all-Mighty, all-Wise, and the sight of His Face – free from any resemblance or likeness to anything – as you see the Sun in the middle of the day and the full Moon on a cloudless night, then listen on the day that the caller will call: ‘O People of Paradise! Your Lord – Blessed and Exalted – requests you to visit Him, so come to visit Him!’ So they will say: ‘We hear and obey!’

Until, when they finally reach the wide valley where they will all meet – and none of them will turn down the request of the caller – the Lord – Blessed and Exalted – will order His Chair to be brought there. Then, pulpits of light will emerge, as well as pulpits of pearls, gemstone, gold, and silver. The lowest of them in rank will sit on sheets of musk, and will not see what those who are on the chairs above them are given. When they are comfortable where they are sitting and are secure in their places, and the caller calls: ‘O People of Paradise! You have an appointment with Allaah in which He wishes to reward you!’ So they will say: ‘And what is that reward? Has He not already made our faces bright, made our scales heavy, entered us into Paradise, and pushed us away from the Fire?’

And when they are like that, all of a sudden a light shines that encompasses all of Paradise. So, they raise their heads, and, behold: the Compeller – Exalted is He, and Holy are His Names – has come to them from above them and majestified them and said: ‘O People of Paradise! Peace be upon you!’ So, this greeting will not be responded to with anything better than: ‘O Allaah! You are Peace, and from You is Peace! Blessed are You, O possessor of Majesty and Honor!’ So the Lord – Blessed and Exalted – will laugh to them and say: ‘O People of Paradise! Where are those who used to obey Me without having ever seen Me? This is the Day of Increase!’

So, they will all give the same response: ‘We are pleased, so be pleased with us!’ So, He will say: ‘O People of Paradise! If I were not pleased with you, I would not have made you inhabitants of My Paradise! So, ask of Me!’ So, they will all give the same response: ‘Show us your Face so that we may look at it!’ So, the Lord – Mighty and Majestic – will remove his covering and will majestify them and will cover them with His Light, which, if Allaah – the Exalted – had not Willed not to burn them, would have burned them.

And there will not remain a single person in this gathering except that his Lord – the Exalted – will speak to him and say: ‘Do you remember the day that you did this and that?’ and He will remind him of some of his bad deeds in the Worldy life, so he will say: ‘O Lord! Will you not forgive me?’ So, He will say: ‘Of course! You have not reached this position of yours (in Paradise) except by my forgiveness.’

So, how sweet is this speech to the ears, and how cooled are the righteous eyes by the glance at His Noble Face in the Afterlife…

{Some faces that Day will be shining and radiant, l ooking at their Lord…} (al-Qiyaamah:22-3)

[from the amazing and beautiful book Haadi al-Arwaah ilaa Bilaad il-Afraah by Ibn al-Qayyim, pg. 193]

Strangeness and the Strangers | Ibn ul Qayyim al Jawziyyah


“Islam began as something strange, and it shall return to being something strange, so give glad tidings to the strangers.”

The Meaning of “Strangeness”

Many times in many situations the people that follow the religion of Allah feel a sense of not belonging, of being out of place, of not fitting in, and, in other words, of being strange. This feeling could occur in a gathering of non-Muslims, but, unfortunately, this feeling sometimes also occurs when one is with his fellow Muslims. A person sees his brothers and sisters doing acts that are contrary to Islam, or taking part in innovations that sometimes even border on kufr (apostasy), yet he feels that he does not have enough power or courage to stop them in these acts. Some brothers and sisters, especially if they do not have enough taqwa or Islamic knowledge, sometimes buckle under the pressure of their peers and join in these acts, knowing that this is not what Allah wants them to do. However, feeling helpless, since it seems that they are alone in their ideas and without any support to help them do what is right, they succumb to such pressures.

These brothers and sisters, may Allah have mercy on them, should take consolation in the verses of the Qur’an and the many statements of the Prophet (peace be upon him) describing this very situation of strangeness that they feel.


Why Have They Been Called “Strangers”?

Allah says in the Qur’an, “If only there had been, in the generations preceding you, people having wisdom, prohibiting others from evil in the earth; except a few of those whom we have saved from among them.” (Hud 116).

This verse speaks of the few people on earth, the “strangers”, who prohibit mankind from evil. These are the same people the Prophet (peace be upon him) spoke about when he said, “Islam began as something strange, and it shall return to being something strange, so give glad tidings [ar. Tooba. This is a tree in Paradise. So the Prophet (peace be upon him) is giving the good news of Paradise to these strangers.] to the strangers.” It was asked, “Who are those strangers, O Messenger of Allah?” He replied, “Those that correct the people when they become corrupt.” [Reported by Abu Amr al-Dani, from the hadith of ibn Masoud. It is authentic according to al-Albani. Another narration says, "Those that correct my sunnah which has been corrupted by the people after me."] In another narration he said in response to the same question, “They are a small group of people among a large evil population. Those who oppose them are more than those who follow them.” [Reported by ibn Asaakir. It is authentic according to al-Albani.]

These praiseworthy people are called strangers since they are a small minority among mankind. Thus, Muslims are strangers among mankind; the true believers are strangers among Muslims; and the scholars are strangers among the true believers. And the followers of the Sunnah, those that clear themselves from all peoples of innovation, are likewise strangers.

In reality, however, their strangeness is only because they are the minority and it is not because their actions and beliefs are strange. This is what Allah says in surah al-Anaam, “And if you obey most of the people on Earth, they will lead you astray” (al-Anaam 116). Allah also says, “And most of mankind will not believe, even if you (O Muhammad) desire it eagerly” (Yusuf 103); “And truly, most of mankind are rebellious and disobedient (to Allah).” (al-Maidah 49); “But nay, most of mankind are ungrateful” (Yusuf 38). Therefore, Allah, the all-Knowing Creator, knows the most of mankind will not follow the truth. Instead, only a small group of people will be set apart that truly and correctly believe in Him, the strangers from among mankind.

The strangers in belief, however, and the strangers in character and actions are in reality the majority of mankind, for they are strange to Islam and to the laws that Allah has revealed. Thus we see that there are various types of strangeness, of which some are praiseworthy, some are blameworthy and some are neither praiseworthy or blameworthy. We will discuss these various categories separately below.


The Various Types of Strangeness

You should know, may Allah have mercy upon you, that strangeness is of three types:

The first type of strangeness is the strangeness of the “People of Allah and the People of His Messenger” (peace be upon him), which we mentioned previously. This strangeness is a praiseworthy strangeness, as it has been praised by Allah and His Messenger (peace be upon him). Therefore, this kind of strangeness should be sought and its people must be supported. This strangeness occurs in different times, in different places, and among different peoples. These strangers, then, are the true “People of Allah” for they do not worship ought save Him, and they do not take support from any path except the path of the Prophet (peace be upon him), and they do not call to anything except that which has been brought by the Prophet (peace be upon him). These are the people who left mankind when they (the strangers) were in need of them the most. For, on the Day of Judgment, when all other groups will go with that which they used to worship, they will stay in their places. It will be said to them, “Will you not go as the other people have gone?” They will answer, “We had abandoned the people (in this life), and we were more in need of them then we are today, and we will wait for our Lord whom we used to worship.” [Recorded by al-Bukhari and Muslim]

Thus it is apparent that this strangeness does not cause its bearer any discontent. Rather it is a comforting strangeness, a solace to the believers. This is because he knows that his helpers are Allah, His Messenger and those who believe [This is a reference to verse 55 of surah al-Maidah], even if all of mankind left and abandoned him. These strangers are again described in a hadith narrated by Anas ibn Malik, in which the Prophet (peace be upon him) said, “It is possible that a disheveled, dusty person, with not many belongings [Literally, "with two headdresses"], who is not noticed among the people, if he asks of Allah, Allah will fulfill his prayer.” [Reported by at-Tirmidhi and al-Hakim. Al-Albani said it is authentic.] Al-Hasan al-Basri [a very famous Follower – tabi` - known for his piety, asceticism and knowledge] said, “A believer is a stranger in this world, he is never afraid of its humiliation, and he never competes for its glory. The people are in one situation and he is in a different situation. The people are content with him, yet he is in turmoil [Literally, "tired"] with himself.”

From the characteristics of these strangers that the Prophet (peace be upon him) described is the holding on to the sunnah of the Messenger (peace be upon him), even if the people abandon it. They, the strangers, leave all the innovations that their people invent, even if such practices should be common among them. They also stick to tawheed, even if the people corrupt it with shirk. They do not ascribe themselves to anything besides Allah and His Prophet (peace be upon him); they do not, that is, ascribe themselves to a shaikh, tariqah, particular madhhab or a group of people. They are dedicated only to Allah, with their sincere worship of Him and Him alone, and to His Prophet (peace be upon him), by following the path that he followed. These are the people who grasp the glowing hot embers [A reference to the hadith that is to follow], even though most of mankind – nay, all of them – blame them for this. This is the meaning of the statements of the Prophet (peace be upon him) alluding to the fact that they stick to his sunnah, even if the people corrupt it.

Allah, all praise be to Him, sent His Prophet (peace be upon him) when mankind followed different religions, for there were those who worshipped rivers and trees, and there were those who worshipped idols, and there were Christians, Jews and Zoroastrians. Islam, when it first appeared among these people, was strange to them. If a person from among them accepted Islam and followed the call of Allah and His Prophet (peace be upon him), he would be shunned by his family and his tribe. He would live the life of a stranger among his people. Eventually, however, Islam spread far and wide. The Muslims became stronger and stronger, so much so that the strangers were those that did not accept the teachings of the Prophet Muhammad (peace be upon him).

But, alas, Satan deceived mankind again. People took to the ways that their forefathers, who had accepted Islam, had abandoned until, finally, Islam became strange again, just like it had started and just like the Prophet (peace be upon him) had foretold. Nay, indeed, rather the true Islam – that which the Prophet (peace be upon him) and his Companions were following [this is a reference to the reply that the Prophet (peace be upon him) gave when asked what the characteristics of the "Saved Group" were] has become even stranger to the people then when it initially appeared, even though its outward signs and external relics are well known and widespread. [This is what ibn al-Qayyim, wrote in the 8th Century of the Hijrah, wrote. Imagine our situations six centuries after him. May Allah protect us.]

How can it not be so, when these strangers are only one group among seventy-two others [the Prophet (peace be upon him) said in an authentic hadith that this Ummah would divide into seventy-three groups, all of which would go to Hell except the one Saved Group.], each of which follows its own desires and takes its passions as gods? Those are the groups that base their teachings on doubts and innovations and whose sole purpose is the gratification of their own desires. Thus, the group whose goal is to achieve the pleasure of Allah by following the path of His Messenger (peace be upon him) will be the strange one among all of the other groups.

This is why the true Muslims – those that adamantly cling to the Sunnah – will have the reward of fifty Companions. When the Prophet (peace be upon him) was asked about the verse, “O you who believe! Take care of your own selves. If you follow right guidance, no harm can come to you from those who err” (al-Maidah 105), he said, “Nay indeed, order good and forbid evil until you see stinginess being obeyed, and desires being followed, and this world preferred [over the next], and each person being deluded by his own opinions. Then take care of yourself and leave the common people. For indeed, after you there will be days of patience, where patience will be like holding on to glowing embers. Whoever is able to do this will have the reward of fifty people that do like him.” They asked, “O Messenger of Allah, the reward of fifty of them?” He replied, “The reward of fifty of you” [Recorded by al-Tirmidhi and Abu Dawud with a weak chain but it has supporting evidence. Al-Albani calls it sahih. See al-Sahiha, #957]. This reward is due to his strangeness among the people.

So, if the believer whom Allah has blessed with wisdom and knowledge wants to tread upon this path, the path of Allah, then let him be prepared to resign himself to the life of a stranger among his people, just like his predecessors who accepted Islam were treated by the people. For indeed, he will be a stranger in his beliefs, because his people have corrupted their beliefs. He will be a stranger in his religion, due to what the people have done to it. He will be a stranger in his manner of praying, because the people are ignorant of the prayer of the Prophet (peace be upon him). He will be a stranger in his ordering of good and prohibiting evil, for the people have taken what is evil as good and they have abandoned what is good as evil. In short, then, he will be a stranger in all his matters of this world and the Hereafter, calling to the path of Allah and withstanding the harm of all those that go against him.

As for the second type of strangeness, then know, O reader, that this strangeness is the blameworthy strangeness, for its people are the evil sinners, the ignorant and the arrogant of mankind. Their strangeness is due to their refusal to follow the correct and straight path of Allah. This strangeness is the strangeness of not conforming to the religion of Islam and, as such, it will remain strange even if its followers are numerous, its power is strong and its existence is widespread. These are the strangers to Allah. May Allah keep us from becoming one of them.

The third category of strangeness is, in essence, neither praiseworthy or blameworthy. It is the strangeness that a traveler experiences when he travels to a different country, like a person who lives in a place for a short period of time, knowing that he has to move on. One aspect of this strangeness is that all of us, whether we realize it or not, are strangers in this world, for we will all go one day to our permanent abode in the Hereafter. This is the meaning of the hadith of the Prophet (peace be upon him) when he told Abdullah ibn Umar, “Live in this world as though you are a stranger or a wayfarer.” Thus, this category of strangeness has the potential to become a praiseworthy strangeness if we realize the meaning of this statement of Allah’s Messenger (peace be upon him).

We pray that Allah bless us to be Muslims, knowledgeable and pious, and that He forgive us our sins and bless us with His Mercy.

Glorified be your Lord, the Lord of Honor and Power! (He is free) from what they attribute to Him And Peace be on the Messengers. And all Praise and thanks be to the Allah, the Lord of the Worlds.