Senin, 10 Mei 2010

Tak Ada Tingkatan dalam Islam

Kemuliaan tidak dipandang Allah dari gelar, harta, tahta, keturunan namun dari ketaatannya


Sebuah obrolan di pasar telah menjadi inspirasi pagi ini. Intinya mempertanyakan seseorang karena statusnya, “masa tukang dagang handphonenya canggih?!”. Terpikir oh itu hanya sekali namun ternyata obrolan serupa juga sering terjadi dimana pekerjaan seseuatu adalah hina, apalagi bila disangkut pautkan dengan pangkat. Ada lagi yang bilang “kasihan ya masa sarjana dagang gorengan?!”. Pertanyaan besarnya ‘terus kenapa? Apa uang anda yang dirugikan?’.

Pertanyaan selanjutnya mengapa bukan liat sisi baiknya?. Pedagang punya handphone canggih ya tak masalah selama itu halal, itu hasil kerja kerasnya mungkin dengan handphone itu pekerjaannya menjadi lebih mudah. Atau seharusnya itu jadi motivasi bahwa dengan berdagang bisa menghasilkan handphone yang canggih.

Lalu mengenai gelar, memangnya haram seorang sarjana berjualan gorengan? Bukankah itu menjadi semakin menarik karena ketika orang berbangga-bangga dengan gelar dia melupakan itu semua. Mungkin berjualan adalah langkah pertamanya untuk kemudian menjadi seorang pengusaha sukses.

Gelar,harta, nasab, kedudukan, penghormatan sekalipun seharusnya bukan menjadi patokan untuk menilai seseorang terlebih tentang keburukan. Alangkah baiknya hal juga itu bukan menjadi tujuan semu kita di dunia. Jadikanlah hal itu sebagai sarana untuk mendekatkan diri pada Allah SWT.

Islam tidak melarang seseorang mencari ilmu setinggi mungkin demi menghindari pandangan ‘gila gelar’, atau menjadi kaya dengan berusaha di jalan yang halal. Ingatlah bahwa sahabat-sahabat nabi kebanyakan pengusaha, semakin banyak hasil yang didapat makan semakain banyak pula sedekah yang ditunaikan. Tidak ada kamus, kedermawanan akan membuat jatuh miskin.

هَا أَنْتُمْ هَؤُلاءِ تُدْعَوْنَ لِتُنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَمِنْكُمْ مَنْ يَبْخَلُ وَمَنْ يَبْخَلْ فَإِنَّمَا يَبْخَلُ عَنْ نَفْسِهِ وَاللَّهُ الْغَنِيُّ وَأَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ وَإِنْ تَتَوَلَّوْا يَسْتَبْدِلْ قَوْمًا غَيْرَكُمْ ثُمَّ لا يَكُونُوا أَمْثَالَكُمْ


Ingatlah, kamu ini orang-orang yang diajak untuk menafkahkan (hartamu) pada jalan Allah. Maka di antara kamu ada yang kikir, dan siapa yang kikir Sesungguhnya Dia hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri. dan Allah-lah yang Maha Kaya sedangkan kamulah orang-orang yang berkehendak (kepada-Nya); dan jika kamu berpaling niscaya Dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain; dan mereka tidak akan seperti kamu ini. (QS.47:38)

مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ


Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. [QS.2:261]

Memang ada sejumlah kemudahan bila mendapati gelar, harta, tahta, atau nasab. Namun semestinya itu disyukuri seraya disadari bahwa itu suatu ujian. Sejauh mana hal tersebut dapat kita manfaatkan demi kebaikan di dunia.

Jangan sampai menjadi jemawa karena sejumlah kemudahan itu. ingatlah masih banyak saudara-saudara kita yang merasakan kesulitan.
Di Indonesia sendiri kita mengenal pangeran Dipenogoro. Meski lahir dari keturunan raja tidak berarti beliau menjadi enggan berperang demi kemerdekaan Indonesia. Pahlawan Muslim yang telah merepotkan bahkan hampor membangkrutkan Belanda di kala itu.

Di sejarah Islam panutan ini menjadi lebih banyak lagi. Ada Nabi Sulaeman, nabi Yusuf, Asiah istri yang memilih mengabaikan suaminya Firaun demi agama Allah dan masih banyak lagi. Dan pada akhirnya Rasulullloh SAW adalah pribadi yang menjadi cermin utama. Seorang dermawan, panglima perang namun dekat dengan rakyat kecil, bahkan dengan peran-nya sebagai Nabi sama sekali tak menjadikan beliau meminta upah dari dakwahnya. Cukup dari Allah saja.

قُلْ مَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُتَكَلِّفِينَ


Katakanlah (hai Muhammad): "Aku tidak meminta upah sedikitpun padamu atas da'wahku dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan.” [QS. 38:86]

Karena dalam Islam tingkatan itu tidak ada. kemuliaan tidak dipandang Allah dari gelar, harta, tahta, keturunan namun dari ketaatannya (ketaqwaan). Maka alangkah ruginya bila masih memandang seseorang dengan indikasi tersebut.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS.49:13)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar